Pemikiran Plato Tentang yang “AdA”
Ontologi berarti ajaran mengenai “yang ada” atau segala sesuatu
yang ada. Istilah ini merupakan jabaran dari dua “ta onta” yakni segala
sesuatu yang ada dan “logika” yakni ajaran atau ilmu pengetahuan.
Pemikiran filsafat Ontologi tergolong kefilsafatan pemikiran yang paling kuno,
dan ini tampak di Yunani. Ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu
berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala
realitas dalam semua bentuknya. Beberapa pendapat tentang ”Ontologi” masa pra
sokrates, masa ini sering disebut dengan “filsafat alam” karena perhatian
mereka lebih banyak tercurah kepada pencarian tentang ”arche alam” (inti alam).
Filsafat alam sendiri lahir dari suatu peradaban manusia yang mana kehidupannya
tidak bisa dilepaskan dari budaya primitif yang dipengaruhi oleh beberapa
mitos, dongeng maupun takhayul yang berkembang pada waktu itu. Salah satu tokoh
dari masa ini, bisa disebut ”Thales” (hidup abad VI SM/624-548 SM), ia
menyatakan bahwa dasar pertama atau intisari alam ini adalah ”alam”. Jadi yang
menjadi landasan dalam tataran ontologi ini adalah apa objek yang ditelaah, bagaimana
wujud yang hakiki dari objek tersebut, bagaimana pula hubungan objek tersebut
dengan daya pikir dan penangkapan manusia.
Plato (427-347 SM), melalui ajaran gurunya sangat kental
mempenggaruhinya terutama pada konsep ”ada” yang dipertentangkan antara
heraklitos dan Parmenides. Selanjutnya ia menyatakan bahwa apa yang disebut “ada”
selama-lamanya tapi tak pernah menjadi dan apakah yang disebut “menjadi” tapi
tak pernah ada,yang pertama difahami sebagai “kecerdasan” berfikir, menyatakan
yang tetap dan tinggal serupa selama-lamanya. Dalam hal ini plato memisahkan
antara kenyataan yang kelihatan dalam alam lahir, dimana berlaku pandangan
heraklitos dan alam pengertian yang abstrak dimana berlaku pandangan
permenides. Sebab bila tidak dipisahkan maka semua akan mengalir seperti halnya
air, atau halnya sebuah pengetahuan yang hanya sekedar terlintas dari bayangan manusia
saja. Dari pengetahuan itulah Plato memperdalam tentang yang “ada” dari
pengetahuan yang tetap “ada”nya.
Kemudian Aristoteles (384-322 SM) yakni murid dari Plato,
sependapat dengan gurunya tentang yang “ada” yang itu merupakan tujuan akhir
dari filsafatnya. Hanya saja ia kurang sependapat tentang teori “idea” yang
merupakan hakikat dari “ada” yang abstrak dan umum, karena menurutnya, sesungguhnya
yang “ada” itu adalah khusus atau persatu.