Rabu, Januari 30

Pemikiran Plato Tentang yang “AdA”
Ontologi berarti ajaran mengenai “yang ada” atau segala sesuatu yang ada. Istilah ini merupakan jabaran dari dua “ta onta” yakni segala sesuatu yang ada dan “logika” yakni ajaran atau ilmu pengetahuan. Pemikiran filsafat Ontologi tergolong kefilsafatan pemikiran yang paling kuno, dan ini tampak di Yunani. Ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Beberapa pendapat tentang ”Ontologi” masa pra sokrates, masa ini sering disebut dengan “filsafat alam” karena perhatian mereka lebih banyak tercurah kepada pencarian tentang ”arche alam” (inti alam). Filsafat alam sendiri lahir dari suatu peradaban manusia yang mana kehidupannya tidak bisa dilepaskan dari budaya primitif yang dipengaruhi oleh beberapa mitos, dongeng maupun takhayul yang berkembang pada waktu itu. Salah satu tokoh dari masa ini, bisa disebut ”Thales” (hidup abad VI SM/624-548 SM), ia menyatakan bahwa dasar pertama atau intisari alam ini adalah ”alam”. Jadi yang menjadi landasan dalam tataran ontologi ini adalah apa objek yang ditelaah, bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut, bagaimana pula hubungan objek tersebut dengan daya pikir dan penangkapan manusia.
Plato (427-347 SM), melalui ajaran gurunya sangat kental mempenggaruhinya terutama pada konsep ”ada” yang dipertentangkan antara heraklitos dan Parmenides. Selanjutnya ia menyatakan bahwa apa yang disebut “ada” selama-lamanya tapi tak pernah menjadi dan apakah yang disebut “menjadi” tapi tak pernah ada,yang pertama difahami sebagai “kecerdasan” berfikir, menyatakan yang tetap dan tinggal serupa selama-lamanya. Dalam hal ini plato memisahkan antara kenyataan yang kelihatan dalam alam lahir, dimana berlaku pandangan heraklitos dan alam pengertian yang abstrak dimana berlaku pandangan permenides. Sebab bila tidak dipisahkan maka semua akan mengalir seperti halnya air, atau halnya sebuah pengetahuan yang hanya sekedar terlintas dari bayangan manusia saja. Dari pengetahuan itulah Plato memperdalam tentang yang “ada” dari pengetahuan yang tetap “ada”nya.
Kemudian Aristoteles (384-322 SM) yakni murid dari Plato, sependapat dengan gurunya tentang yang “ada” yang itu merupakan tujuan akhir dari filsafatnya. Hanya saja ia kurang sependapat tentang teori “idea” yang merupakan hakikat dari “ada” yang abstrak dan umum, karena menurutnya, sesungguhnya yang “ada” itu adalah khusus atau persatu.